Friday, December 28, 2007

Kasus Gadis Qatif Jadi Pembicaraan Internasional, Telanjangi Hukum Saudi


WASPADA Online

PERISTIWA yang kini telah menjadi pembicaraan media baik di dalam negeri Arab Saudi maupun di luar negeri disebut kasus Gadis Qatif, menurut Arab News memang sarat dengan isu yang perlu diteliti dengan seksama. Masalah tersebut telah menyoroti sistem hukum di kerajaan gurun pasir itu, ketakutan akan kekuatan media dan kerahasiaan bahwa pengadilan yang senang menutupi kasus-kasus yang masuk. Tetapi selain itu ada konteks lain bagi korban — yang sebagai korban dia telah dijatuhi hukuman sehingga dia mengalami dua kali korban sepertinya dia tidak lagi memerlukan perlindungan — yakni hukum masyarakat yang serta merta merupakan hukuman ekstra baginya.

Kasus itu dilihat dari kacamata awam, memang amat memalukan bagi siapa saja yang mendengarnya. Mungkinkah seorang korban perkosaan dijatuhi lagi dengan hukuman. Tetapi lain lubuk lain ikannya, lain negeri lain pula adatnya. Itulah yang berlaku di dalam sistem hukum di Arab Saudi.

Arab News dalam editorialnya memohon agar kementerian kehakiman mau membuka diri, karena sebagai warga di negeri ini, masyarakat juga punya hak untuk menyampaikan keprihatinannya tentang kasus itu yang dapat saja terjadi pada setiap wanita Arab Saudi. Harian itu menyatakan jika kementerian kehakiman mendapati liputan tentang kasus itu 'emosional' dan 'tidak objektif' maka ada ruangan di suratkabar yang sama untuk menyampaikan pernyataannya untuk menjelaskan kesalahpahaman yang ditimbulkan vonis seseorang, apalagi yang dianggap sebagai korban kejahatan seperti gadis dari Qatif itu.

Kementeriaan Kehakiman Arab Saudi mempertahankan satu hukuman 200 kali cambukan untuk seorang wanita korban perkosaan massal dengan alasan hukuman itu dijatuhkan karena dia berada satu mobil dengan seorang pria yang bukan keluarganya pada kedua mereka mengalami serangan kelompok pemerkosa.

Dalam kesaksian eksklusifnya yang dilakukan oleh ABC News wanita muda itu menjelaskan dalam ceritanya tentang apa yang terjadi sebenarnya dan bagaimana dia diperlakukan selama beberapa bulan setelah peristiwa itu. "Setiap orang melihat pada saya sepertinya saya salah. Saya bahkan tidak dapat melanjutkan studi saya. Saya mau mati saja. Saya telah berusaha dua kali berusaha melakukan bunuhdiri," katanya tentang pengalamannya setelah serangan tersebut.

Wanita itu — yang kemudian disebut di kalangan pers Arab Saudi sebagai Gadis Qatif karena kejadiannya terjadi di provinsi sebelah timur kerajaan gurun pasir itu — mulanya dijatuhi hukuman 90 kali deraan cambuk karena kedapatan melakukan khalwat — berada berduaan dengan seorang pria yang bukan keluarganya.

Namun Pengadilan Umum Qatif meningkatkan hukuman itu menjadi 200 kali cambukan ditambah enam bulan penjara setelah dia membeberkan kasusnya di pers. Pihak berwenang beralasan bahwa tindakan wanita itu merupakan "satu usaha untuk mengganggu dan pengaruhi sistem peradilan melalui media," demikian menurut suratkabar berbahasa Inggris Arab News dari Arab Saudi. Tujuh pelaku kejahatan itu yang didakwa melakukan perkosaan dijatuhi hukuman antara dua sampai sembilan tahun penjara, kata Arab News.

Suatu hari pada Desember 2006 lalu dalam wawancara yang dilakukan di Khobar, Arab Saudi, wanita yang menjadi korban tersebut memberikan keterangan penuh kesaksiannya kepada lembaga pembela HAM Human Rights Watch, yang menggambarkan kejadian itu seperti yang dituturkannya di depan pengadilan. Dia menemui seorang pria kenalannya — seorang mantan pacarnya — yang tak lama kemudian terjadilah penggagahan itu.

Wanita yang tak disebutkan namanya dan initialnya itu dalam wawancaranya menceritakan secara rinci dari awal sampai akhirnya dia diantarkan ke rumahnya.
Ketika dia keluar dari mobil, wanita itu hampir tidak dapat berjalan lagi. Ibunya yang membukakan pintu melihat keadaannya yang acak-acakan segera menanyakan mengapa dia kelihatan demikian lelah. Selama seminggu dia tidak dapat makan, hanya minum saja. Dia berusaha tidak mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Wanita itu pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri dan berobat pada hari berikutnya.

Para penjahat itu mulai membeberkan tentang kejadian itu di kalangan tetangga sang korban. Tindakan itu mereka lakukan dengan harapan agar suami korban menceraikannya. Para pelaku juga bermaksud merusak reputasi wanita itu. Lambat laun suaminya tahu juga apa yang terjadi. Empat bulan kemudian, dia bersama suaminya mulai membuka kasus itu. Keluarganya kemudian mendengar kasus itu. Kakak laki-laki korban berusaha memukulnya wanita tersebut, bahkan ingin membunuhnya.

Pengacaranya juga kena imbas

Ironisnya, pengacara korban — Abdul Rahman Al-Lahem yang menangani kasusnya dan yang menyatakan keberatan dengan hukuman yang dijatuhkan atas kliennya kini menghadapi ancaman dipecat dari profesinya. Dia dianggap telah melanggar kode etik sistem hukum Arab Saudi.
Al-Lahem mengatakan kepada Arab News dia diminta menghadap ke depan komisi disiplin di Kementerian Kehakiman dan dia dihadapkan pada sanksi karena menangani kasus hak azasi manusia melawan beberapa lembaga negara.

Kementerian Kehakiman Arab Saudi mengatakan dalam pernyatannya pekan ini bahwa "tindakan Al-Lahem salah dan bertentangan dengan etika profesinya dan melanggar ketentuan praktik hukumnya dan kode eksekutifnya. Periset Human Rights Watch — organisasi yang berpangkalan di New York — Christoph Wilcke, yang mempelajari sistem hukum Arab Saudi mengatakan, wanita yang menjadi korban perkosaan itu perlu mendapatkan pengampunan dari Raja Abdullah sendiri atau dari gubernur provinsi guna menyelamatkanya dari cambukan dan hukuman penjara.

Undang komentar Capres AS

Kasus Gadis Qatif itu telah pula menjadi bahan gunjingan yang akhirnya menjurus kepada menyorot sistem hukum di Arab Saudi. Para calon presiden AS dari Partai Demokrat telah menunjukkan reaksi tak sedapnya atas penambahan hukuman bagi korban perkosaan itu. Hillary Clinton mengatakan Raja Abdullah harusnya membatalkan vonis itu. Barack Obama mengatakan hukuman itu jauh dari keadilan. Kritikan yang sama juga datang dari calom lain, Joe Biden dan John Edwards.
(ABCNews/ArabNews/CNN/m07
Wassalam
K.Muammar
www.khairaummah.com